Dalam Alkitab/Bible, Perjanjian Baru
menyatakan bahwa laki-laki yang menikah dengan perempuan yang bercerai adalah
pezinah:
(32) Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang
yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya
berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat
zinah.
Al-Qur'an menyatakan
bahwa laki-laki boleh menikah dengan perempuan yang telah diceraikan sesudah
masa menunggu (iddah).
firman Allâh Azza wa Jalla :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’ (haid) [QS al-Baqarah/2:228]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ
الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا
لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya. [QS al-Ahzâb/33:49]
Sedangkan dalil dari sunnah banyak sekali, diantaranya
:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ أَسْلَمَ يُقَالُ لَهَا سُبَيْعَةُ
كَانَتْ تَحْتَ زَوْجِهَا تُوُفِّيَ عَنْهَا وَهِيَ حُبْلَى فَخَطَبَهَا أَبُو
السَّنَابِلِ بْنُ بَعْكَكٍ فَأَبَتْ أَنْ تَنْكِحَهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا
يَصْلُحُ أَنْ تَنْكِحِيهِ حَتَّى تَعْتَدِّي آخِرَ الْأَجَلَيْنِ فَمَكُثَتْ
قَرِيبًا مِنْ عَشْرِ لَيَالٍ ثُمَّ جَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ انْكِحِي
Dari Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwasanya seorang wanita dari Aslam bernama Subai’ah ditinggal mati
oleh suaminya dalam keadaan hamil. Lalu Abu Sanâbil bin Ba’kak melamarnya,
namun ia menolak menikah dengannya. Ada yang berkata, “Demi Allâh, dia tidak
boleh menikah dengannya hingga menjalani masa iddah yang paling panjang dari
dua masa iddah. Setelah sepuluh malam berlalu, ia mendatangi Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Menikahlah!” [HR al-Bukhâri no. 4906].
Masalah ‘iddah ini dapat dirinci sebagai berikut :
1. Wanita Yang Ditinggal Mati
Oleh Suaminya
Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya memiliki dua keadaan :
a. Wanita yang ditinggal mati suaminya ketika sedang hamil. Wanita ini maka masa menunggunya (‘iddah) berakhir setelah ia melahirkan bayinya, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla,
Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya memiliki dua keadaan :
a. Wanita yang ditinggal mati suaminya ketika sedang hamil. Wanita ini maka masa menunggunya (‘iddah) berakhir setelah ia melahirkan bayinya, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ
حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka
itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. [QS ath-Thalaq/65:4].
Keumuman ayat ini di kuatkan dengan hadits al-Miswar
bin Makhramah Radhiyallahu anhu yang berbunyi :
أَنَّ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ
وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ فَجَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ
Subai’ah al-Aslamiyah Radhiyallahu anhuma melahirkan
dan bernifas setelah kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas meminta idzin kepada beliau untuk menikah (lagi).
Kemudian beliau mengizinkannya, lalu ia segera menikah (lagi). [HR al-Bukhâri
no. 5320 dan Muslim no.1485].
b. Wanita tersebut tidak hamil. Jika tidak hamil, maka
masa ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Allâh Subhanahu wa Ta’ala
berfirman :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ
أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي
أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya,
maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allâh mengetahui apa yang kamu perbuat. [QS
al-Baqarah/2: 234]
2. Wanita Yang Diceraikan
Wanita yang dicerai juga ada dua macam yaitu wanita yang dicerai dengan thalak raj’i (thalak yang bisa ruju’) dan wanita yang ditalak dengan thalak bâ’in (thalak tiga).
Wanita yang dicerai juga ada dua macam yaitu wanita yang dicerai dengan thalak raj’i (thalak yang bisa ruju’) dan wanita yang ditalak dengan thalak bâ’in (thalak tiga).
a. Wanita yang dicerai dengan
talak raj’i terbagi menjadi beberapa :
1. Wanita yang masih haidh
Masa ‘iddah wanita jenis ini adalah tiga kali haidh, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
1. Wanita yang masih haidh
Masa ‘iddah wanita jenis ini adalah tiga kali haidh, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’ [al-Baqarah/2: 228]
Menurut pendapat yang rajih, quru’ artinya haidh,
berdasarkan hadits A’isyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi :
أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَسَأَلَتْ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا أَنْ تَدَعَ الصَّلَاةَ
أَيَّامَ أَقْرَائِهَا
Sesungguhnya ummu Habibah pernah mengalami pendarahan
(istihadhah/darah penyakit), lalu dia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan Nabi memerintahkannya untuk meninggalkan shalat pada hari-hari
quru’nya (haidhnya). [HR Abu Dâud no. 252 dan dishahihkan syaikh al-Albani
dalam Shahih Abi Dâud]
Oleh karena itu Ibnul Qayyim rahimahullah merajihkan
pendapat ini dan mengatakan, “Lafazh quru’ tidak digunakan dalam syariat
kecuali untuk pengertian haidh dan tidak ada satu pun digunakan untuk
pengertian suci (thuhr), sehingga memahami pengertian quru’ dalam ayat ini
dengan pengertian yang sudah dikenal dalam bahasa syariat lebih baik. Karena
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang yang kena darah
istihâdlah :
دَعِيْ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِكِ
Tinggalkan shalat selama masa-masa haidhmu. [Zâdul
Ma’âd, 5/609]
2. Wanita yang tidak haidh, baik
karena belum pernah haidh atau sudah manopause .
Bagi wanita yang seperti ini masa ‘iddahnya adalah tiga bulan, seperti dijelaskan Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
Bagi wanita yang seperti ini masa ‘iddahnya adalah tiga bulan, seperti dijelaskan Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ
إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang tidak haid. [QS at-Thalaq/65:4]
3. Wanita Hamil.
Wanita yang hamil bila dicerai memiliki masa iddah yang berakhir dengan melahirkan, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
Wanita yang hamil bila dicerai memiliki masa iddah yang berakhir dengan melahirkan, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ
حَمْلَهُنَّ
Dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.
dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. [QS ath-Thalaq/65:4]
4. Wanita yang terkena darah
istihadhah.
Wanita yang terkena darah istihadhah memiliki masa iddah sama dengan wanita haidh. Kemudian bila ia memiliki kebiasaan haidh yang teratur maka wajib baginya untuk memperhatikan kebiasannya dalam hadih dan suci. Apabila telah berlalu tiga kali haidh maka selesailah iddahnya.[Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/392]
Wanita yang terkena darah istihadhah memiliki masa iddah sama dengan wanita haidh. Kemudian bila ia memiliki kebiasaan haidh yang teratur maka wajib baginya untuk memperhatikan kebiasannya dalam hadih dan suci. Apabila telah berlalu tiga kali haidh maka selesailah iddahnya.[Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/392]
b. Wanita yang ditalak tiga
(talak baa’in).
Wanita yang telah di talak tiga hanya menunggu sekali haidh saja untuk memastikan dia tidak sedang hamil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Wanita yang dicerai dengan tiga kali talak, masa iddahnya sekali haidh.
Wanita yang telah di talak tiga hanya menunggu sekali haidh saja untuk memastikan dia tidak sedang hamil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Wanita yang dicerai dengan tiga kali talak, masa iddahnya sekali haidh.
Dengan haidh sekali berarti sudah terbukti bahwa rahim
kosong dari janin dan setelah itu ia boleh menikah lagi dengan lelaki lain
[Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah, 5/392].
3. Wanita Yang Melakukan Gugat Cerai
(Khulu’).
Wanita yang berpisah dengan sebab gugat cerai, masa ‘iddahnya sekali haidh[10] , sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa hadits dibawah ini:
Wanita yang berpisah dengan sebab gugat cerai, masa ‘iddahnya sekali haidh[10] , sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa hadits dibawah ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ
قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْ زَوْجِهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ
Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa istri Tsabit
bin Qais menggugat cerai dari suaminya pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menunggu
sekali haidh. [HR Abu Dâud dan at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh
al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abu Dâud no.1 950].
Juga hadits yang berbunyi :
عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ
عَفْرَاءَأَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ
أُمِرَتْ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ
Dari ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra’ bahwa
beliau mengajukan gugat cerai di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menunggu
iddahnya satu kali haidh. [HR at-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albâni dalm Shahîh
Sunan at-Tirmidzi no. 945].
PERUBAHAN
STANDAR MASA ‘IDDAH DARI HAIDH KE HITUNGAN BULAN
Pada asalnya masa iddah seorang itu menggunakan satu standar dari sejak mulai sampai akhir. Namun terkadang karena suatu sebab terjadi perubahan standar. Misalnya, apabila seorang suami mentalak istrinya yang masih aktif haidh, kemudian sebelum masa ‘iddahnya selesai, sang suami meninggal dunia. Wanita seperti ini memiliki dua keadaan :
Pada asalnya masa iddah seorang itu menggunakan satu standar dari sejak mulai sampai akhir. Namun terkadang karena suatu sebab terjadi perubahan standar. Misalnya, apabila seorang suami mentalak istrinya yang masih aktif haidh, kemudian sebelum masa ‘iddahnya selesai, sang suami meninggal dunia. Wanita seperti ini memiliki dua keadaan :
a. Apabila talak tersebut masih talak raj’i (talak
satu dan dua), maka masa ‘iddah yang wajib diselesaikan oleh wanita ini bukan
lagi dengan hitungan tiga kali haidh tapi sudah berpindah ke ‘iddah wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari. Karena statusnya
masih tetap sebagai istri. Talak raj’i tidak menghilangkan status istri pada
seorang wanita. Oleh karena itu, wanita yang ditalak dengan talak raj’i masih
saling mewarisi dengan suaminya, jika salah satunya meninggal sementara sang
istri masih dalam masa ‘iddah.
b. Apabila talak tersebut talak tiga (talak bâ`in),
maka ia tetap hanya menyempurnakan sekali haidh saja dan tidak berubah ke
‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya. Karena hubungan sebagai suami istri
telah terputus sejak talak tiga itu sah. Talak tiga menyebabkan status istri
pada seorang wanita hilang. Sehingga pada kejadian di atas kematian sang suami
terjadi setelah si wanita bukan sebagai istrinya lagi.
PERUBAHAN STANDAR MASA ‘IDDAH DARI HITUNGAN BULAN KE HITUNGAN HAIDH
Apabila seorang wanita memulai iddahnya dengan hitungan
bulan karena tidak haidh, baik karena masih kecil atau telah memasuki masa
menopause, namun jika disaat menjalani masa ‘iddah ini mengeluarkan haidh, maka
wajib baginya untuk pindah dari hitungan bulan ke hitungan haidh. Karena
hitungan bulan adalah pengganti dari haidh. Oleh karena itu, menghitung dengan
bulan tidak boleh dipakai selama masih ada haidh yang merupakan standar pokok.
Apabila masa ‘iddah dengan hitungan bulan tersebut
telah tuntas, kemudian baru mengalami haidh , maka tidak wajib memulai masa
iddah dari awal lagi dengan hitungan haidh. Karena haidh ada setelah selesai
masa iddahnya berlalu.
Apabila seorang wanita memulai hitungan masa ‘iddahnya
dengan haidh atau bulan kemudian ternyata dia hamil dari suaminya tersebut,
maka ‘iddahnya berubah menjadi ‘iddah wanita hamil yaitu sampai
melahirkan.[Sailul Jarrar 2/388]
No comments:
Post a Comment