Pemerkosaan dalam bahasa Arab disebut al wath`u bi al ikraah (hubungan seksual dengan
paksaan). Jika seorang laki-laki memerkosa seorang perempuan, seluruh fuqaha
sepakat perempuan itu tak dijatuhi hukuman zina (had az zina), baik hukuman cambuk 100 kali maupun
hukuman rajam. (Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina`i Al Islami, Juz 2 hlm. 364; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz 24 hlm.
31; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu,
Juz 7 hlm. 294; Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, Juz 20 hlm.18).
Dalil untuk itu adalah Alquran dan sunnah. Dalil Alquran
antara lain firman Allah SWT (artinya), ”Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak
menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al An’aam [6] : 145). Ibnu
Qayyim mengisahkan ayat ini dijadikan hujjah oleh Ali bin Abi Thalib ra di hadapan
Khalifah Umar bin Khaththab ra untuk membebaskan seorang perempuan yang dipaksa
berzina oleh seorang penggembala, demi mendapat air minum karena perempuan itu
sangat kehausan. (Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina`i Al Islami, Juz 2 hlm. 365; Wahbah
Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 294).
Adapun dalil sunnah adalah sabda Nabi Muhammad S.A.W.:
”Telah diangkat dari umatku (dosa/sanksi) karena ketidaksengajaan, karena lupa,
dan karena apa-apa yang dipaksakan atas mereka.” (HR Thabrani dari Tsauban RA.
Imam Nawawi berkata, ”Ini hadits hasan”). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 294; Abdul
Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina`i Al Islami,
Juz 2 hlm. 364).
Telah menceritakan kepada kami Ma'mar bin Sulaiman Ar
Raqi Telah menceritakan kepada kami Hajjaj dari Abdul Jabbar dari bapaknya ia
berkata; "Ada seorang wanita yang diperkosa pada masa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau membebaskannya dari Had (hukum
rajam), dan menegakkan Had kepada laki-laki yang memperkosanya." Ia tidak
menyebutkan bahwa laki-laki itu memberikan mahar. [HR Ahmad no.18117]
Hukum Islam
untuk kasus pemerkosaan ada dua:
Pertama: Pemerkosaan
tanpa mengancam dengan menggunakan senjata.
Orang yang melakukan tindak pemerkosaan semacam ini dihukum
sebagaimana hukuman orang yang berzina. Jika dia sudah menikah maka hukumannya
berupa dirajam, dan jika belum menikah maka dia dihukum cambuk 100 kali serta
diasingkan selama satu tahun. Sebagian ulama mewajibkan kepada pemerkosa untuk
memberikan mahar bagi wanita korban pemerkosaan.
Imam Malik mengatakan, “Menurut pendapat kami,
tentang orang yang memperkosa wanita, baik masih gadis maupun sudah menikah,
jika wanita tersebut adalah wanita merdeka (bukan budak) maka pemerkosa wajib
memberikan mahar kepada sang wanita. Sementara, jika wanita tersebut adalah
budak maka dia wajib memberikan harta senilai kurang sedikit dari harga budak
wanita tersebut. Adapun hukuman dalam masalah ini hanya diberikan kepada
pemerkosa, sedangkan wanita yang diperkosa tidak mendapatkan hukuman sama
sekali.” (Al-Muwaththa’, 2:734)
Imam Sulaiman Al-Baji Al-Maliki mengatakan, “Wanita
yang diperkosa, jika dia wanita merdeka (bukan budak), berhak mendapatkan mahar
yang sewajarnya dari laki-laki yang memperkosanya. Sementara, pemerkosa
dijatuhi hukuman had (rajam atau cambuk). Ini adalah pendapat Imam Syafi’i,
Imam Al-Laits, dan pendapat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib
radhiallahu ‘anhu. Sementara, Abu Hanifah dan Ats-Tsauri mengatakan, ‘Dia berhak
mendapatkan hukuman had, namun tidak wajib membayar mahar.'”
Kemudian, Imam Al-Baji melanjutkan, “Dalil pendapat
yang kami sampaikan, bahwa hukuman had dan mahar merupakan dua kewajiban untuk
pemerkosa, adalah bahwa untuk hukuman had ini terkait dengan hak Allah,
sementara kewajiban membayar mahar terkait dengan hak makhluk ….” (Al-Muntaqa
Syarh Al-Muwaththa’, 5:268).
Kedua: Pemerkosaan
dengan menggunakan senjata.
Orang yang memerkosa dengan menggunakan senjata untuk
mengancam, dihukumi sebagaimana perampok. Sementara, hukuman bagi perampok
telah disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya:
إِنَّمَا
جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ
فَسَاداً أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ
وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ
فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh
atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang
(keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di
dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.” (QS. Al-Maidah: 33)
Dari ayat di atas, ada empat pilihan hukuman untuk perampok/pemerkosa:
1. Dibunuh.
2. Disalib.
3. Dipotong kaki dan tangannya dengan
bersilang. Misalnya: dipotong tangan kiri dan kaki kanan.
4. Diasingkan atau dibuang; saat ini bisa
diganti dengan penjara kalau di Inonesia.
Pengadilan boleh memilih salah satu di antara empat pilihan
hukuman di atas, yang dia anggap paling sesuai untuk pelaku dan bisa membuat
efek jera bagi masyarakat, sehingga bisa terwujud keamanan dan ketenteraman di
masyarakat.
Harus ada bukti atau pengakuan pelaku
Ibnu Abdil Bar mengatakan, “Para ulama sepakat
bahwa orang yang melakukan tindak pemerkosaan berhak mendapatkan hukuman had,
jika terdapat bukti yang jelas, yang mengharuskan ditegakkannya hukuman had,
atau pelaku mengakui perbuatannya. Akan tetapi, jika tidak terdapat dua hal di
atas maka dia berhak mendapat hukuman (selain hukuman had). Adapun terkait
wanita korban, tidak ada hukuman untuknya jika dia benar-benar diperkosa dan
dipaksa oleh pelaku. Hal ini bisa diketahui dengan teriakannya atau permintaan
tolongnya.” (Al-Istidzkar, 7:146)
Syeikh Muhammad Shalih Munajid memberikan penjelasan untuk
keterangan Ibnu Abdil Bar di atas, “Jika tidak terdapat bukti yang
menyebabkan dia berhak mendapat hukuman had, baik karena dia tidak mengakui
atau tidak ada empat orang saksi, maka (diberlakukan) pengadilan ta’zir (selain
hukuman had), yang bisa membuat dirinya atau orang semisalnya akan merasa takut
darinya.” (Disarikan dari Fatawa Al-Islam, Tanya-Jawab, diasuh
oleh Syekh Muhammad Shaleh Munajid, fatwa no. 72338).
Akan tetapi jika laki-laki pemerkosa mengakuinya, maka
laki-laki itu dijatuhi hukuman zina, yaitu dicambuk 100 kali jika dia bukan muhshan, dan dirajam hingga mati jika dia muhshan. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 358).
Jika perempuan itu tidak mempunyai bukti (al bayyinah) pemerkosaan, maka hukumnya dilihat lebih dahulu; jika laki-laki yang dituduh memerkosa itu orang baik-baik yang menjaga diri dari zina (al ‘iffah an zina), maka perempuan itu dijatuhi hukuman menuduh zina (hadd al qadzaf), yakni 80 kali cambukan sesuai QS An Nuur : 4. Adapun jika laki-laki yang dituduh memerkosa itu orang fasik, yakni bukan orang baik-baik yang menjaga diri dari zina, maka perempuan itu tak dapat dijatuhi hukuman menuduh zina. (Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz 6 hlm. 453; Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, Juz 20 hlm.53; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 346).
Jika perempuan itu tidak mempunyai bukti (al bayyinah) pemerkosaan, maka hukumnya dilihat lebih dahulu; jika laki-laki yang dituduh memerkosa itu orang baik-baik yang menjaga diri dari zina (al ‘iffah an zina), maka perempuan itu dijatuhi hukuman menuduh zina (hadd al qadzaf), yakni 80 kali cambukan sesuai QS An Nuur : 4. Adapun jika laki-laki yang dituduh memerkosa itu orang fasik, yakni bukan orang baik-baik yang menjaga diri dari zina, maka perempuan itu tak dapat dijatuhi hukuman menuduh zina. (Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz 6 hlm. 453; Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, Juz 20 hlm.53; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 346).
No comments:
Post a Comment