“Dan berbuat baiklah kepada kedua
orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat
dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan), dan
budak yang kamu miliki …” (An Nisa: 36).
1. Makna penghambaan dalam Islam ialah tunduk, merendahkan diri serta patuh
kepada Allah, dengan mentaati perintah-perintahNya dan meninggalkan
larangan-laranganNya. Adapun perbudakan manusia, Islam membatasinya menjadi
hanya kepatuhan fisik. Ibnul Qoyyim dalam I’lamul Muqi’in menyatakan bahwa
pemilik budak hanya berhak atas jasmani, bukan pikiran dan nurani budaknya.
Karena itulah pemilik budak tidak boleh memaksa budaknya untuk memeluk agama
Islam. Kepatuhan fisik pun dibatasi hanya untuk perintah yang tidak menyuruh
berbuat maksiat.
“Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran,
sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari
keuntungan duniawi.” (An Nuur: 33).
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah bin Ubai bin Salul yang
memaksa budak perempuannya untuk melacur. Dengan ayat ini Nabi saw melarang
pemilik budak yang menyuruh budaknya untuk melacur. [Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir. Jilid 3. Muhammad Nasib Ar Rifa’i. Jakarta: Gema Insani, 2000. hal.
497.].
Kepatuhan fisik pun dibatasi untuk tidak berlebihan dalam memberi pekerjaan
kepada budaknya.
Nabi saw bersabda: “Bagi seorang budak (wajib diberikan) jaminan pangan dan
sandangnya. Dia tidak boleh dipaksa melakukan pekerjaan yang tidak mampu
dilakukannya.” (HR. Muslim).
2. Memposisikan budak sebagai anggota keluarga.
Nabi saw bersabda: “Budak-budakmu adalah saudara-saudaramu. Allah
menjadikan mereka bernaung di bawah kekuasaanmu. Barangsiapa saudaranya yang
berada di bawah naungan kekuasaannya hendaklah mereka diberi makan serupa
dengan yang dia makan dan diberi pakaian serupa dengan yang dia pakai.
Janganlah membebani mereka dengan pekerjaan yang tidak dapat mereka tunaikan.
Jika kamu memaksakan suatu pekerjaan hendaklah kamu ikut membantu mereka.” (HR.
Bukhari).
Nabi saw juga bersabda: “Bila budak salah seorang di antara kamu membuatkan
makanan untukmu, kemudian dia membawanya padahal ia sudah merasakan panas dan
asapnya; maka hendaklah kamu mengajaknya duduk bersama, lalu makan. Jika
makanannya sedikit, maka hendaklah kamu menaruh di tangannya (memberinya) satu
suap atau dua suap.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzy dan Abu Dawud. Muslim
memuatnya dalam bab “Memberi makan budak,” Tirmidzy dalam bab “Hadits-hadits
mengenai makan bersama budak dan keluarga”).
3. Tidak terlarang budak mengimami jamaah sholat,
Aisyah pernah diimami shalatnya oleh budaknya (yaitu Dzakwan) yang membaca
dari Al-Qur’an (bukan dari hafalan). (HR Bukhari).
Anas ra mengatakan bahwa Nabi saw bersabda: “Dengarkanlah dan taatilah
meskipun yang memegang pemerintahan atasmu seorang budak Habsyi yang kepalanya
seperti anggur kering (kecil kepalanya).” (HR Bukhari).
Hadits Irbaad bin Saariyah dari Nabi saw: “Aku wasiatkan kepada kalian
untuk bertakwa kepada Allah, patuh dan taat walaupun dipimpin budak Habsyi
(yang berkulit hitam), karena siapa yang masih hidup dari kalian maka akan
melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan
sunnah pada Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk, berpegang teguhlah
kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan waspadalah terhadap
perkara-perkara yang baru (dalam ibadah mahdoh), setiap yang baru (dalam ibadah
mahdoh) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR Abu Dawud,
Tirmidziy, dan Ibnu Majah).
4. Pemilik budak dilarang menganiaya budaknya.
Abu Sa’id Al Badri berkata: Aku sedang menyambuk budakku yang muda, lalu
aku mendengar suara orang menyeru dari belakangku. Orang itu berkata,
“Ketahuilah hai Aba Mas’ud (panggilan Abu Sa’id).” Sungguh aku tidak tahu suara
siapakah itu karena ketika itu aku sedang marah. Ketika orang itu mendekatiku
tahulah aku ternyata yang datang adalah Rasulullah saw. Beliau berkata,
“Ketahuilah hai Aba Mas’ud…Ketahuilah hai Aba Mas’ud.” Mendengar perkataan itu
aku campakkan cambuk dari tanganku. Beliau kemudian melanjutkan ucapannya,
“Ketahuilah, hai Aba Mas’ud, sesungguhnya Allah lebih mampu bertindak
terhadapmu daripada tindakanmu terhadap anak muda itu.” Aku spontan menjawab,
“Ya Rasulullah, dia sekarang ini aku merdekakan karena Allah.” Nabi Saw
berkata, “Kalau kamu tidak memerdekakannya maka api neraka akan menjilatmu.”
(HR. Muslim).
“Barangsiapa membunuh budaknya maka ia akan kami bunuh. Barangsiapa membuat
budaknya kelaparan maka ia akan kami buat kelaparan.” (HR Bukhari dan Muslim).
Imam Muslim juga mencatat hadits mengenai Abu Dzarr yang membalas umpatan
seorang budak terhadapnya dengan mengumpati juga kedua orangtua budak itu bahwa
ibunya adalah seorang wanita asing. Ketika hal itu dilaporkan kepada Nabi saw,
beliau mencela dan mengecam tindakan Abu Dzarr tersebut dengan mengatakan,
“Sesungguhnya engkau ini seorang yang masih memiliki ashobiyah (fanatisme)
Jahiliyyah.”
Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Nabi pernah bersabda: “Jangan
memukul budak perempuanmu hanya karena dia memecahkan barang pecah-belahmu.
Sesungguhnya barang pecah-belah itu ada waktu ajalnya seperti ajalnya manusia.”
(HR. Abu Na’im dan Ath-Thabrani).
Khalifah Umar bin Khattab pernah menghukum pemilik budak yang memperlakukan
budak wanitanya secara kasar, dan Umar kemudian memerdekakan budak tersebut
(Ibnul Qoyyim dalam I’lamul Muqi’in, dan At Tahayuib An Najjar dalam Al Mawaliy
fi Ashril Umawy).
Para ulama pun mengatakan bahwa Hakim berhak memerdekakan budak yang
diperlakukan kasar oleh majikannya. (Fiqih Sunnah, Op. Cit. hal. 66).
5. Rasulullah saw menyerukan keutamaan orang yang memberikan pendidikan
bagi budaknya.
Abu Musa berkata, Rasulullah saw bersabda: “Tiga (golongan) mendapat dua
pahala, yaitu seorang Ahli Kitab yang beriman kepada Nabinya kemudian beriman
kepada Muhammad saw; budak yang menunaikan hak Allah Ta’ala dan hak majikannya;
dan seorang laki-laki yang mempunyai budak wanita yang dididiknya secara baik
serta diajarnya secara baik, kemudian dimerdekakannya dan lalu dinikahinya,
maka ia mendapat dua pahala.” (HR Bukhari).
6. Islam memberikan hak bagi para budak untuk menikah.
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang
yang (sudah) layak (menikah) dari budak-budakmu yang lelaki dan budak-budakmu
yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya.” (An Nuur: 32).
7. Budak perempuan dalam Islam lebih mulia derajatnya daripada wanita
musyrik.
Di masa itu, status budak sangatlah hina. Budak dianggap sebagai makhluk
setengah binatang dan setengah manusia yang tidak memiliki dirinya sendiri.
Namun ketika Islam datang, budak diperlakukan seperti keluarga sebagaimana yang
telah disebutkan sebelumnya. Budak dalam Islam bukanlah setengah hewan,
melainkan dikategorikan lebih mulia daripada wanita merdeka yang musyrik.
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.” (Al Baqoroh: 221).
Ibnu Katsir menyebutkan riwayat dari As Sadi bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan Abdullah bin Rawahah yang memiliki budak perempuan berkulit hitam. Suatu
ketika Abdullah bin Rawahah marah kepadanya dan menamparnya, namun kemudian
Abdullah bin Rawahah merasa bersalah lalu pergi menemui Nabi saw. Nabi saw
bertanya tentang kepribadian budak tersebut. Abdullah bin Rawahah menjawab
bahwa budak tersebut rajin sholat, berpuasa, berwudhu dengan bagus, dan
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.
Nabi bersabda: “Hai Abdullah bin Rawahah, budak wanita itu muslimah.” Abdullah
bin Rawahah berkata: “Demi Zat yang mengutusmu dengan hak, sungguh aku akan
memerdekakannya dan sungguh aku akan menikahinya.” Kemudian Abdullah bin
Rawahah pun melaksanakan sumpahnya. Lalu orang-orang mulai membicarakan hal
tersebut dengan mengatakan bahwa Abdullah bin Rawahah telah mengawini budak
perempuannya. Kemudian Allah swt pun menurunkan surat Al Baqoroh ayat 221.
[Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 1. Muhammad Nasib Ar Rifa’i. Jakarta: Gema
Insani, 1999. hal. 358].
No comments:
Post a Comment